Welcone to my Blog

Dear All,
Tujuan utama saya membuat blog ini adalah untuk berdiskusi mengenai beberapa hal yang menarik minat saya. diantaranya soal Kehidupan Seorang Pelaut yang dimata orang awam dinilai negative, benarkah seperti itu ?, apa ada Pelaut yang religius ? apa saja hikmah yang didapat oleh Pelaut selama mengarungi samudra yang seolah tak bertepi ? . Saya akan menceritakan semua kepada anda, tanpa ada yang ditutup-tutupi, InsyaALLAH.

Selasa, Maret 17, 2009

Pacaran Dengan Artis

Malam itu, diawal September 2003, dari perut pesawat
berbadan lebar Boeing 777 Cathay Pacific yang telah
membawaku dari Hongkong ke Jakarta, aku turun dan berjalan
menuju pintu keluar bandara Sukarno Hatta. Ada sedikit
rasa asing berada bandara yang terakhir kali aku kesini
saat berangkat Sign-on sepuluh bulan yang lalu. Selama
itulah aku berada diatas kapal yang berlayar hampir ke 20
negara tanpa pernah sekalipun kapal masuk ke pelabuhan
Indonesia. Dan malam ini, setelah menyelesaikan kontrak
kerja selama 10 bulan diatas kapal tanker yang bernama MT.
Eglantine milik salah satu perusahaan di Jakarta, aku
pulang. Sebenarnya bisa aja aku langsung nyambung pesawat
pertama ke Medan besok pagi tanpa harus keluar dari
bandara. Ya ke Medan, dimana Istri dan kedua anakku telah
menungguku dengan setia selama aku diatas kapal. Tapi
lebih baik aku kekantor untuk menyerahkan semua dokumen –
surat mutasi, passport, buku pelaut , dll – baru pulang ke
Medan.

Dengan menumpang taksi aku menuju rumah salah seorang
tanteku di daerah Cipete. Tanteku ini adalah wanita karir.
Dari sebelum menikah dia sudah terkenal sebagai seorang
penyanyi dan artis layar lebar. Aku pernah tinggal bersama
tanteku yang dulunya adalah Muslim taat beribadah ini,
yang ketika menikah dengan seorang pengusaha dari tanah
Batak, nyebrang menjadi seorang Nasrani. Tiba di rumah
tanteku yang kini anak-anaknya sudah tumbuh jadi
cewek-cewek cantik itu, aku hanya disambut oleh pembantu
dan seorang satpam. Mereka tidak mengenalku. ' Pasti
pegawai baru ' pikirku. Sebab setahun yang lalu, sebelum
aku berangkat, aku masih sering kesini dan mengenal dengan
baik semua orang yang bekerja dirumah tanteku. Masih
berdiri didepan pintu gerbang yang belum dibuka kuncinya,
aku minta supaya satpam tua berusia kira-kira 50 an,
yang berada di dalam segera membuka pintu. Eh dia malah
nanya,
" Mau cari siapa mas ? ".

Aku kan pernah tinggal disini. Jadi, mendengar
pertanyaannya yang aku belum pernah dengar sebelumnya ini,
aku sedikit jengkel, mungkin karena aku kelelahan dan
ngantuk. Karena kapanpun dan jam berapapun aku datang,
biasanya para pembantu atau satpam akan segera membukakan
pintu.
" Saya baru pulang nih dan saya mau masuk "
Jawabanku jelas malah makin membuat si satpam heran.
Menyadari ketidaktahuannya tentang diriku, aku sambung
lagi ucapanku,
" Saya keponakan pemilik rumah ini, Dina dan Tami kemana
?' , tanyaku sambil mengintip kedalam garasi yang pintunya
terbuka, tak satupun mobil ada didalam. Berarti Dina, Tami
dan Tanteku tidak dirumah. Setengah tak percaya, walau aku
sudah menyebut nama kedua anak tanteku, si satpam menyuruh
Darti - pembantu wanita yang belakangan keluar dari rumah
untuk melihat siapa yang datang - untuk mengambil anak
kunci. Aku maklum dengan kekhawatiran mereka. Jaman
sekarang ini, apalagi dikota besar seperti Jakarta, memang
susah menemukan orang jujur. Jadi aku tidak tersinggung
apalagi marah dengan sikap mereka yang terkesan hati-hati.
Untuk menyakinkannya, aku hubungi nomor selular tante ku.
Setelah basa-basi sebentar, kuserahkan handphoneku kepada
pak satpam yang sudah akan memasukkan anak kunci kedalam
gembok.
" Nih pak, Tante Elly mau bicara ".
Entah apa yang dikatakan Tante Elly, demikian aku
memanggil tanteku, kulihat si satpam mengangguk-nganguk (
kan tak perlu ngangguk kalu cuma mau jawab iya ). Padahal
tanteku tidak melihat dia. Sambil telentangpun dia
menjawab telepon Tante Elly, takkan mungkin tanteku tau.
" Iya buk….., iya buk……., '
Terdengar suara pak Yono, nama satpam itu, dengan nada
bersalah. Sampai didalam rumah yang tidak asing lagi
bagiku ini, aku langsung menuju bekas kamarku di lantai
atas. Aku mandi, sholat Magrib dan Isya yang terpaksa ku
jamak, lalu berbaring melepaskan penat setelah terbang
satu jam sepuluh menit dengan pesawat berbadan lebar
Boeing 777 yang masih gres itu. 'gak sampai lima belas
menit, aku dah pindah ke alam misterius yang bernama
mimpi.

Tiba-tiba aku sudah berada didalam minibus bareng Dono
, kasino , Indro, Ateng, Bagio, Benyamin, Nike Ardila dan
Lady Diana. Yang nyetir Dono, aku duduk diantara dua cewek
cantik yang terkenal itu. Di simpang jalan, mobil distop
Charlie Chaplin yang minta ikut. Setelah si pemilik kumis
sepotong kayak Jojon itu naik, Dono ngomong gini, ' Kemana
nih kita, mobil dah penuh, 'gak bisa nambah orang lagi '.
Terus dijawab Indro sambil nyengir-nyengir aneh, '
Kerumah Parto Ngelaba aja, okeh, okeh kawan-kawan '. semua
mengangguk, termasuk aku yang sedang menikmati sedapnya
duduk di jepit dua cewek cantik tapi serem. Lady Di dan
Nike merapatkan duduknya kearahku yang mulai menyadari
bahwa, cuma aku dan Indro yang masih belum pernah mati.
Yang lain kan udah game-over. Kuberanikan bertanya ke
Indro, ' Dro, kok baju kita berdua lain. Mereka kok pake
kain kafan ? ''. Indro yang memang selalu cengengesan,
celingukan ngeliatin semua yang ada di mobil. Kurang
yakin dengan pandangannya, Indro yang duduk didepan
diantara Kasino dan Dono, meraba ikatan kain putih
dikepala Dono, sang supir. ' Apaan sih Ndro pegang-pegang,
gua lagi nyetir nih ', sergah Dono sambil over persneling
dari tiga ke empat. ' Anu, gua kirain tadi elu dodol
Perbaungan ( dodol yang dijual di pinggir jalan kota
Perbaungan, Sumatra Utara, memang mirip pocong kecil ). Ha
ha ha ha…..semua tertawa ( tawa yang lebih mirip tangisan
), kecuali aku dan Indro yang malah ketakutan. Dengan
mimik mukanya yang lucu dan khas, Dono masih assyik dengan
kemudinya. Pas lampu merah, Dono menginjak pedal rem
sekuat-kuatnya ( padahal lampu merahnya masih seratus
meter lagi ), sehingga menimbulkan suara gesekan keempat
ban mobil dengan aspal. Tapi bukannya berbunyi '
ciiiit……', eh malah saperti orang ketawa, ' hi hi hi hi
hehe he he '. Kontanlah semua ikut tertawa , yang juga
aneh, karena tawa kami bunyinya ' ciiciciciiiitttt…..'.
Nah waktu mobil udah bener-bener berhenti, ada polisi yang
mendatangi mobil kami. Pasti ditilang nih, pikirku
( herannya aku jadi 'gak takut lagi saat itu,
walau aku tetap menyadari bahwa cuma aku dan Indro yang
masih hidup didunia ini ). Aku tanya Dono, ' Don, loe
punya SIM 'gak ?'. setengah bingung, Dono ngeraba-raba
bagian belakang pantatnya. '
yahhh…enggak kebawa, ketinggalan dicelana jeans, kan gua
pake baju pocong yang 'gak ada kantungnya '. Sampai di
sisi kiri depan mobil, pak polisi bercelana pendek
kedodoran ( pakaian atas lengkap dengan pangkat polisinya
) yang ternyata Jojon, ngomong gini, ' Eh kebetulan nih,
boleh numpang 'gak ? '. Kasino yang duduk paling pinggir
dan paling dekat dengan berdirinya Jojon, ngejawab, '
boleh aja, tapi dipangku ya…., naik gih'. Dengan girang,
Jojon yang baru abis tugas jaga di persimpangan, segera
menuju pintu tengah. Begitu pintu terbuka, dia kaget, '
lho kok saya udah ada didalam, saya kan belum naik ?.
tanya Jojon heran sambil tangannya menunjuk muka Charlie
Chaplin. Enggak merasa dirinya sebagai Jojon, Charlie
protes, ' ini gua tauk, elu ya itu ' , dia balas menuding
muka Jojon. ' Lha ini siapa ?', tanya Jojon lagi sambil
memencet hidungku. Dipencet begitu, terang aja aku 'gak
bisa nafas. Setengah berontak, aku menepis tangannya.
Samar-samar kudengar suara Jojon, yang masih terus
menjepit hidungku, yang berubah menjadi suara wanita yang
sangat kukenal, '
Eee….bangun…..bangun….'. Tersentak aku langsung membuka
mata, dan ternyata tanteku sedang berdiri sambil memencet
hidungku. Segera aku bangkit. Sambil mengucek-ngucek mata,
sepintas aku melihat sesosok wanita yang belum pernah
kulihat dirumah ini, yang sedang duduk di meja makan
bundar sepuluh meter dari sofa tempatku tidur tadi.
" Apa khabar Tante ? ", aku menempelkan pipi kepipi Tante
Elly.
" Sehat, kamu ?, kemana aja kok lama 'gak kemari ?". Tante
Elly balas menyentuhkan kedua pipinya kewjahku. Tersirat
rasa senang diwajah tanteku. Kehadiranku dalam hidupnya
seperti roh kebahagiaan yang tidak bisa dia dapatkan dari
orang lain, bahkan mantan suaminya. Sampat detik ini, aku
adalah orang yang paling dekat dengan tanteku. Terhitung
sejak aku mulai tinggal bersamanya tujuh tahun yang lalu,
aku adalah orang pertama yang menjadi tempat mengadukan
semua persoalan yang dihadapinya. Entah itu masalah dengan
suaminya, soal keluarga besar kami, sampai soal honor lagu
yang sering terlambat dibayar. Bersamaku, tawa Tante Elly
seperti lepas tanpa beban. Makanya sewaktu aku masih
tinggal dirumah ini, sering dia menungguku pulang, bahkan
sampai tengah malam, hanya untuk sekedar ngobrol dan
bercanda.


" Eh kok melamun, sini kenalin sama teman Tante ", tante
Elly menarik tanganku kearah meja makan.
" Dea, ini Rudi, yang sering mbak Elly ceritan, Rud ini
Dea, kenalin ", Tante Elly memperkenalkan temannya yang
tanpa dikenalinpun aku sudah sering lihat wajahnya di tv
atau majalah. Aku baru menyadari bahwa sosok yang tadi
terlihatku sepintas adalah seorang artis terkenal.
" Rudi ", aku mengulurkan tangan
" Dea Larasati ", Artis yang masih kelihatan remaja itu
menyebutkan namanya secara lengkap.
" Duduk dulu ya, mbak Elly buatin kopi, biar enak
ngobrolnya ", ujar tante Elly seraya melangkah kedapur
kering. Aku menarik kursi diseberang Dea, artis yang
terkenal dengan lagu " Merpati Biru " itu.
" Baru pulang dari mana Rud ", Dea memecah kekakuan.
" Hongkong…", jawabku singkat
" Pulang shopping ? ", tanya Dea lagi
" Dia itu anak kapal De….", tante Elly yang sedang membawa
nampan berisi tiga cangkir kopi yang asapnya masih
mengebul, mendahuluiku.
" Oh ya….. udah keliling dunia dong…", Dea menerima
cangkir yang disodorkan Tante Elly.
" Belum, baru separoh…", jawabku
" Ayo, mumpung masih panas….", tante Elly menyorongkan
secangkir kopi kehadapanku.
" Thank you, Aunty ", ujarku sambil mengaduk kopi dengan
cream yang memang paling kusuka. Kutatap wajah Dea yang
kelihatan lelah namun tetap cantik yang selama ini cuma
kulihat di televisi. " Memang cantik cewek ini ",
batinku. Tolol sekali si Andre itu, wanita nyaris sempurna
begini kok dicerai. Aku mengumpat mantan suami Dea dalam
hati. Seingatku, baru dua bulan yang lalu aku membaca
kisah perceraian artis asal Sukabumi ini ditabloid yang
kubeli di Singapore.

Malam itu, kami lewatkan dengan bercerita dan bercanda
yang sangat mengasyikkan. Sesekali kuceritakan humor-humor
tentang pelaut yang mereka belum pernah dengar. Dan
layaknya wanita biasa, mereka juga tertawa-tawa sampai
terpingkal-pingkal. Dalam hati aku berkata " Ternyata sama
aja semua wanita, apapun propesinya " . Bagi tante Elly
berkumpul dan bercanda ria denganku merupakan hiburan
tersendiri. Sedangkan aku sangat menikmati pemandangan
indah dari sosok seorang wanita cantik kaya dan terkenal
yang berstatus janda itu. Dan Dea juga terlihat menikmati
obrolan yang jika tidak diingatkan oleh dentang jam di
diruang tamu yang berbunyi dua kali, mungkin akan
berlanjut sampai pagi. Sembari bercerita aku
memebanding-banding kedua wanita yang jadi temanku ngobrol
ini. Persamaannya : kedua-duanya kaya, cantik, terkenal
dan janda. Perbedaannya : yang satu adik ibuku, pendeta,
sudah punya anak dua, usia sudah mendekati empat puluh.
Sedangkan satunya lagi, masih muda ( lebih muda dariku
satu tahun ), belum punya anak, masih aktif menyanyi dan
main sinetron.
" ah seandainya…" pikiranku mengembara entah kemana, saat
aku menatap bibir sensual Dea yang dipoles warna merah
muda.

Sayang, saat jam berdentang dua kali tadi, Dea bangkit
dari duduk, merapikan skirtnya dan pamit hendak pulang.
" Mbak Elly, dah hampir pagi nih, Dea pulang dulu ya…",
ujar Dea sambil meraih tasnya dan mengeluarkan kunci
mobil.
" Aduh Dea, kamu udah capek seharian jalan, sekarang
nyetir sendiri ke Sukabumi, udah sayang…tidur sini aja ",
Tante Elly berusaha mencegah Dea yang sudah mulai berjalan
menuju garasi.
" Makasih mbak Elly, tapi Dea besok ada janji dengan
pengacara. Itu lho mbak, urusan dengan pengadilan agama
soal gono-gini belum selesai ", Dea berjalan terus
kegarasi, yang diikuti Tante Elly dan aku dibelakangnya.
" Begini aja, biar Rudi yang anter kamu " usul Tante Elly
spontan. Dea yang sudah siap masuk kemobil menatapku.,
seolah ingin tahu apakah aku bersedia mengantarnya.
" Kamu masih kuat kan Rud ", tanya Tante Elly. Namun aku
menangkapnya bukan sebagai pertanyaan, tapi permintaan
halus yang tidak bisa kutolak..
" Kalau Rudi bersedia…..", kalimat Dea menggantung.
" Ya udah, kamu yang setir…", ujar Tante Elly kepadaku.
Tante Elly mengambil kunci mobil dari tangan Dea, lalu
menyerahkannya ketanganku.

Semenit kemudian, aku dan Dea sudah berada di dalam mobil
mewah bernama Mercedes Benz S class seri 500, hasil dari
album terakhir Dea. Kuhidupkan mesin buatan Jerman itu,
kunekan pedal rem sembari mendorong tuas persneling otomat
ke posisi maju, siap mengantar seorang artis terkenal,
muda , kaya dan cantik yang sekalipun tidak pernah
terlintas dipikiranku.

" Dagh mbak Elly….sampai minggu depan ya…", Dea pamit
kepada Tante Elly yang berdiri disisi kiri mobil.
" Dagh… pelan-pelan Rud…", Tante Elly, setengah berteriak
mengingatkanku. Aku hanya tersenyum. Itu adalah kalimat
rutin yang akan diucapkan tante Elly setiap kali aku
berada dibelakang kemudi, apalagi jika adik bungsu
Almarhumah ibuku itu ada didalamnya. Tante Elly memang
sudah tahu betul kebiasaanku mengenderai mobil yang tidak
bisa terima kalau didahului kenderaan lain, yang langsung
akan kuuber sampai aku didepan lagi. Dan memang aku tidak
begitu suka berlama-lama dijalan, kalau memang bisa
cepat sampai ketujuan, kenapa tidak.

Perlahan, aku melepaskan pedal rem. Mobil maju perlahan.
Keluar dari garasi, kubelokkan kekanan. Sengaja aku belum
menyalakan lampu besar, karena didepan sana, dekat portal
yang menghalangi jalan, duduk sekelompok anak muda yang
sedang jaga sambil main kartu domino. Begitu dekat,
kuturunkan kaca pintu, kulongokkan kepala keluar, agar
jelas terlihat siapa saja yang sedang nongkrong dini hari
menjelang subuh begini.
" Selamat malam ", sapaku.
"Malam….", suara pak Soleh terdengar familiar
ditelingaku.
" Woiii Rud… kapan datang loe…?, tanya yang pake jaket
kulit hitam, yang ternyata Fendy.
" Magrib tadi Fen…", jawabku sambil membuka pintu dan
turun. " Sebentar ya Dea… ", ujarku kepada Dea yang
langsung menganggguk. Kusalami mereka satu persatu.
" Wah… makin keren aja loe Rud… ", puji Sayuti, anak
Betawi asli Cilandak.
" Pentboy pesenan gua mana…", tanya Fery ceking sambil
berdiri, seolah pesanannya ada didalam mobil. Pentboy
adalah bahasa halus mereka untuk menyebut majalah porno
Penthouse dan Playboy.
" Tomorrow Fer, masih dikoper.. gua anter tamu tante gua
dulu ya…". Aku masuk kembali kemobil. Pamit kepada mereka.
Pak Soleh mengulur tali yang mengikat ujung portal,
sehingga terbuka. " Makasih pak, jalan dulu ya…
", aku melambaikan tangan kearah pak Soleh.

Dua puluh meter kedepan, kubelokkan mobil kekanan,
menyusuri jalan Kramat Batu. Sampai pertigaan dengan jalan
Fatmawati, belok kiri. Dijalanan yang masih sepi di pagi
buta begini, aku merasa seperti masuk kelandasan pacu
arena balap. Hanya satu dua mobil yang terlihat. Ketika
pedal gas kutekan lebih dalam dan rpm mesin bertambah,
secara otomatis persneling pindah ke dua. Namun sangat
lembut hingga nyaris tak terasa. Sengaja aku belum memacu
mobil bertenaga besar ini, sambil memikirkan route kearah
tol Jagorawi. Dari arah berlawanan, dua buah metromini
nomor S610 terlihat berusaha saling mendahului. aku masih
mengenderai dibawah 40km perjam. Sebelum mencapai putaran
didepan gedung BCA, aku melirik Dea yang yang sedang
memejamkan matanya. Bibirnya yang sensual terbuka sedikit,
seolah hendak ngomong. Walau hanya sekilas melirik, aku
sangat menikmati pemandangan indah tersebut. Persis saat
aku hendak menyalakan lampu sign kanan, Dea meluruskan
badannya, merapikan duduknya serta memintaku untuk tidak
berbelok.

" Mau lewat mana De…?, tanyaku heran. Menurutku lebih
cepat mutar disini, terus kejalan lingkar luar selatan,
kemudian ke Jagorawi.
" Gua lapar, kita cari makan dulu di sebelah OL ", Dea
menyebut tempat nongkrong anak-anak muda Jakarta Selatan,
diseputaran gedung sekolah Ora Et Labora dekat pom bensin
Melawai Raya. Beberapa tahu yang lalu, aku juga sering
nongkrong disitu kalo lagi ngedate. Atau berdua Toto,
sepupuku yang sekarang tinggal di Bengkulu, menikmati
jajanan pinggir jalan sambil cuci mata.

" Kamu lapar juga kan Rud..", tanya Dea.
" Boleh juga.." sahutku sambil menekan pedal gas lebih
dalam, gak jadi mutar. Sejenak suasana hening. Dari
speaker belakang, sayup sayup terdengar suara Ali Mc
Chambel melantunkan lagu Homely Girl.
" Rud…", panggil Dea pelan
" Ya.."
" Cerita lagi dong soal kapalnya…"
" Rasanya udah semua gua certain tadi…" , sahutku sambil
tangan kiriku merapikan anak rambut yang jatuh dikening,
sementara tangan kananku sedang menikmati lembutnya kemudi
mobil mewah buatan Jerman ini.
" Masih ada yang ketinggalan lho…" , desak Dea, " Atau
kamu malu nyeritainnya "
" Soal apa lagi ?"
" Gimana dengan cewek-cewek disetiap pelabuhan yang kamu
singgahi ?".
" Oh itu…, lain tempat lain ceritanya De…", jawabku asal.
" Kenapa ? ".
" Karena memang cewek-ceweknya beda "
" Ceritain dong…… ", rengek Dea
" Cuma ada dua situasi berkaitan dengan cewek-cewek
disetiap pelabuhan, pertama, para perempuan datang
kekapal dan menjajakan tubuhnya dari kamar ke kamar selama
kapal sandar atau berlabuh jangkar….", aku berhenti,
menanti reaksi janda muda yang sangat menggairahkan para
lelaki ini. Tapi Dea tak bertanya apa-apa, malah
mengangkat kakinya keatas jok dan membalikkan badan
sehingga menghadap kearahku.
" Kedua, pelautnya yang nyari kedarat ", sambungku,
setelah agak lama menunggu reaksi Dea.
" Kamu pernah kesana ? ", Dea menyandarkan kepalanya ke
sandaran kepala. Tangan kanannya menopang dagu.
" Yang lucunya De, ", sambungku tanpa menghiraukan
pertanyaannya, " Banyak juga pelaut yang munafik,
pura-pura suci. Ketika ditanya mau kemana, bilangnya mo
kesupermarket. Terus ketika yang lain juga ditanya saat
hendak pergi, jawabnya mau telpon ke Indonesia. Satunya
lagi, bilang mau cari souvenir buat oleh-oleh. Eh 'gak
taunya, kempat-empatnya, yang ditanya dan yang nanya,
ketemu di tempat yang sama, dirumah bordil, ha ha ha…."
Dea tertawa menunjukkan barisan giginya yang putih bersih.
" Kamu pernah kesana ? ". Dea mengulang pertanyaannya.
" Kemana ?, kelokasi cewek-cewek itu ?, Enggak….'"
" Ah yang bener….", Dea tak percaya
" Buat apa saya bohong, kagak ada untungnya "
" Terus gimana dong dengan libido kamu ? ".
Pertanyaan Dea agak vulgar. Aku terdiam sejenak,
memikirkan jawaban yang tepat sekaligus jujur. Aku juga
heran dengan pertanyaannya yang kuanggap terlalu jauh
masuk wilayah pribadiku. Tapi aku ingat, kami sudah
sama-sama dewasa. Tak ada salahnya kurasa bicara
nyerempet-nyerempet sedikit. Didepan terlihat Gedung OL,
kuarahkan mobil kederetan mobil-mobil yang diparkir tak
jauh dari barisan tenda-tenda kakilima. Sambil menepi,
menekan pedal rem, menarik tuas rem tangan serta
memindahkan tuas persneling keposisi netral tanpa
mematikan mesin, aku jawab tanpa malu-malu, " kalau sudah
tak tahan, ya terpaksa pake jasa panglima. Lima lawan satu
".
" Panglima siapa… ? ".
Aku tertawa ngakak. Lugu sekali cewek ini.
" Kamu mau makan apa De ? ", tanyaku tanpa memperdulikan
pertanyaannya sembari turun dari mobil.
" Pesenin pisang bakar, sama strawberry milk-shake ya.. "
" Baik tuan putri, hamba segera kembali dengan pesanan
tuan putri ", ujarku bercanda. Dea tersenyum, manis
sekali.

Kembali kemobil setelah memesan dua porsi pisang bakar dan
strawberry milk-shake, seperti yang diminta Dea, aku
merebahkan jok sampai posisi paling rendah. Dea yang
memperhatikanku dari tadi, bertanya lagi.
" Panglima yang kamu bilang tadi, maksudnya apa Rud ? " ,
Dea mendesak kepengen jawaban jelas. Aku melebarkan kelima
jari tangan kananku kearahnya, " Ini berapa De ? ".
" Lima "
" Kira-kira yang satunya apa "
" Yak ampun, gua kirain apa, gak taunya swalayan…ha ha ha
ha ."

Dea terkekeh kekeh. Suasana dalam mobil rame dan berkesan
romantis. Suasana yang sangat sering aku dapatkan saat
kencan dengan gadis-gadisku dulu. Ah Dea, kamu telah
membangkitkan gairah mudaku sampai ketahap aku ingin
mendekap kamu. Sungguh, aku sangat menikmatinya dan tak
ingin saat-saat seperti ini cepat berlalu. " Seandainya…".
Pikiran nakal, yang menyuruhku untuk menggiring Dea larut
dalam suasana intim, tiba-tiba melintas. Dia kan janda.
Pasti sudah lama tak disentuh laki-laki. Kalau saja aku
bisa….
Kutepis pikiran gila itu. " Mana mungkin Rud. Dia siapa,
kau siapa ". Terngiang suara mengejek diriku sendiri.
" Cewek yang datang kekapal cantik-cantik ya….Rud "
" Ada juga, tapi….",
" Tapi apa ? ", sergah Dea sebelum aku sempat meneruskan
kalimatku'
" Kalau kamu pada posisi saya, dan kamu tahu bahwa
cewek-cewek itu sudah menjajakan tubuhnya dari satu kapal
ke kapal lain dan sudah dipakai oleh bermacam-macam bangsa
dengan dengan bermacam ukuran, masih adakah keinginan
untuk menidurinya ? ".
" Bisa kena AIDS dong ", sergah Dea
" Itu dia…, tapi yang utama, gua 'gak mau menambah dosa
gua yang sudah menggunung De…".
" Sebanyak apa rupanya dosa kamu ? ", Dea menyelidik
" Masa lalu gua kelam, banyak melakukan pekerjaan setan…"
" Semua orang pasti pernah berbuat dosa Rud...", Dea
sepertinya hendak menghiburku.
" Apa aja yang kamu kerjakan dulu….? ", tanya Dea
menyelidik.
" Gua pernah tinggal di Denpasar beberapa tahun yang lalu
", aku terpancing bercerita. " Sebagai kepala cabang
sebuah perusahaan jasa yang mengurus kedatangan dan
kepulangan crew asing yang bekerja di pengeboran minyak
lepas pantai. Kebanyakan dari Australia dan Amerika "
" Oh ya…enak dong..pasti bahasa Inggris kamu lancar sekali
ya…. "
" Terpaksa harus bisa. Tapi aku lebih banyak berurusan
dengan Bea Cukai, Imigrasi, Airlines dan biro travel "

Dea menurunkan kaca pintunya ketika seseorang datang
mengantar pesanan kami. Dea menyerahkan seporsi untukku
dan mulai melahap bagiannya.

" Apa hubungannya urusan pekerjaan kamu dengan dosa ?',
tanya Dea sambil menggigit potongan pisang bakar.
" Demi kelancaran tugas-tugasku, aku harus rajin
mengentertaint mereka "
" Lalu…? "
" Ya begitu, biasanya aku ajak ke Diskotik, Café, mancing
atau membelikan tiket pesawat. Tapi sering minta
dibookingin kamar hotel lengkap dengan selimut hidupnya "
" Kenapa tidak dikasih mentahnya aja "
" Hampir semua menolak saat gua serahkan amplop, mungkin
karena mereka sudah kebanyakan duit 'kali "
" Terus… "
" Lama - lama gua jengah juga harus berurusan dengan para
' ayam ' pesanan mereka. Aku jadi tahu seluk
beluk dunia hitam di Denpasar , Selain gua berdosa, gua
juga merasa bersalah terhadap istri-istri mereka. Akhirnya
gua tinggalkan Denpasar ", Aku menelan potongan pisang
terakhir.
" setelah itu kamu kemana ? "
" Hanya sebulan gua nganggur di Jakarta. Lalu ada tawaran
dari teman yang sedang membangun hotel bintang lima di
Batam. Aku ditawari di bagian Purchasing. Dan akhirnya
sama seperti di Denpasar "
" Kok bisa ? "
" Sembilan puluh persen supplier kebutuhan hotel yang
sedang kami bangun, ada di Singapore. Aku yang berurusan
dengan mereka. Dan setiap sabtu, mereka suka datang
plesiran ke Batam. Cilakanya, aku tak bisa menolak ketika
mereka minta dicariin ayam segar yang masih muda. Tak ada
bedanya kan ?. Tadinya aku coba bersikap cuek. Tapi setiap
minggu bergaul dengan mereka, aku takut terlanjur terlalu
jauh "
" Tapikan tergantung gimana kamunya. Mestinya kamu bisa
menghindar ", ujar Dea sambil melap bibirnya dengan
tissue.
" Benar De, namun sekeras apapun batu, jika ditetesin air
terus menerus, pasti akan bolong suatu hari "
" Jadi, batunya udah bolong ? ", tuduh Dea
" Belum sih, tapi udah cekung, ha ha ha ….." , Aku
terbahak. Dea tertawa sambil menutup mulutnya dengan
tangan. Meski terlihat lelah, tapi Dea sepertinya enjoy
aja ngobrol denganku. Tiba-tiba Dea melontarkan pertanyaan
yang tak kusangka-sangka. Entah apa maksudnya, aku tak
tahu.
" Seandainya ada seorang wanita cantik, muda dan kaya
megajak kencan beberapa hari ke Bali misalnya, kamu nolak
'gak ? "
" Siapa ? ", aku balik tanya
" Siapa aja "
" Kalau seandainya kamu istri saya dan kamu tahu suami
kamu serong dengan wanita yang kamu sebut tadi, gimana
perasaan kamu ? "
" Terlepas dari urusan istri, kamu tergoda enggak ? "
" Dea, kamu belum mengenal aku seutuhnya "
" Ceritain dong "
" AKu sudah sangat kenyang bergaul dengan segala macam
perempuan dan segala tingkah lakunya "
" Maksud kamu pacar ? "
" Iya, tak cukup semua jari kamu untuk menghitungnya "
" Apa hubungannya dengan pertanyaan gua tadi ? "
" Aku sering traveling berdua dengan wanita sampai
berhari-hari, ke Parapat misalnya. Jadi aku tak kaget lagi
dengan tawaran tadi "
" Tapi ini lain…."
" Apanya yang beda ? "
"Tiga hari berdua di Bali dengan wanita cantik, tanpa
menyentuhnya. Sanggup ? "
" Apa susahnya ? "
" Bisa ?, walaupun tidur sekamar ? "
" Aku sudah pernah melakukannya, dan aku bisa "
" Kalau diuji sekali lagi berani ? "
" Konsekwensinya apa ?, aku balik bertanya.
" Jika kamu mampu bertahan selama tiga hari tiga malam
berdua di kamar yang sama dengan seorang wanita muda
cantik dan kaya, apapun yang dilakukan wanita tersebut,
tanpa tergoda untuk macam-macam, sebuah Honda Accord tahun
terbaru untuk kamu "
" Benar nih ? ", tanyaku antusias, membayangkan sebuah
sedan, jangankan yang baru, yang bekas pun belum pernah
kumiliki.
" He eh, tapi kalau kamu gagal, ada hukumannya "
" Apa ? "
" Kamu harus mengabdi kepada wanita tersebut selama tiga
bulan berturut-turut dan harus mau melakukan apapun yang
diperintahkannya "
" Boleh, tapi ngomong-ngomong, siapa sih wanita yang kamu
maksud ? "
" Mungkin kamu pernah lihat, mungkin juga belum. Tapi aku
akrab dengannya. Dia muda, cantik dan kaya. Mobil seperti
yang kita naiki ini, kalau dia mau, lima bisa dia beli.
Kalau kamu berani terima tantangannya, nanti aku beritahu
dia. Dan aku akan hubungi kamu. "

Subuh itu kami tiba dirumah Dea dengan selamat. Setelah
menunggu sekitar satu jam, sambil menikmati secangkir teh
hangat, aku kembali ke Jakarta di antar oleh supir Dea
yang kemarin absen karena harus menghadiri pemakaman salah
satu kerabatnya yang meninggal dunia. Dan hanya berselang
dua hari, telepon genggamku berdering.
" Hallo, Rud apa khabar ? ", terdengar suara Dea
" Baik, kamu gimana ?. dah kelar urusan pengadilannya ? ".
Aku balik bertanya
" Belum "
" Ada apa De ? ", tanyaku pura-pura. Padahal aku yakin Dea
pasti akan mengabarkan rencana PERTARUHAN GILA yang sudah
kami sepakati.
" Wanita tersebut setuju. Kamu harus sudah di Cengkareng
jam 10.00 wib hari sabtu besok. Dengan menunjukkan KTP,
Kamu minta aja tiket atas nama kamu di counter GARUDA.
Wanita tersebut sudah akan berada diruang tunggu lebih
dahulu. Kalian terbang dengan pesawat jam 11.00 tujuan
Denpasar. Kamu akan dijumpai wanita tersebut setelah
pesawat mendarat di Ngurah Rai. Dan selanjutnya, selamat
berjuang. Aku doain semoga tidak berhasil dapat Honda
Accord, ha ha ha ha…..", ujar Dea menjelaskan apa yang
harus kulakukan dengan panjang lebar dan diakhiri dengan
tawa renyah dari bibirnya yang sensual. Klik. Telepon
diputus. Aku coba menghubunginya lagi. Tapi telponnya
langsung tidak aktif. Kenapa langsung dimatikan tanpa
menunggu komentarku ?. apa sebab Dea bilang dia akan
mendoakan agar aku tidak berhasil mendapatkan Honda Accord
taruhan tersebut, yang berarti aku takluk dalam pelukan
wanita tersebut ?. Apakah yang sebenarnya diinginkan Dea
?. Aku menang atau kalah dalam taruhan ini ?. Kalau Dea
berharap aku menang, berarti Dea tidak ingin aku jatuh
kepelukan wanita tersebut ?. Kenapa ?. Apakah dia
menginginkanku dan tidak mau aku ditaklukkan wanita,
yang entah siapa tersebut ?. Lalu kenapa dia atur
pertaruhan ini sampai benar-benar terjadi ?. Entahlah, aku
memang tak paham dengan cara berpikir wanita. Dan hari ini
sudah Jum'at, berarti besok aku harus ke Bandara Sukarno
Hatta. Permainan ini sudah berjalan, aku tidak bisa mundur
lagi. Lagi pula, aku memang bertekad mendapatkan Honda
Accord tersebut.

Malamnya aku tak bisa tidur . Kepalaku penuh dengan
rencana-rencana, lebih tepat disebut kiat-kiat untuk
menghindari hal-hal yang akan menjerumuskan aku untuk
takluk. Dulu aku memang pernah tidur bersama wanita di
hotel tanpa melakukan apa-apa. Bahkan menyentuhnya pun
tidak. Tapi itu cuma satu malam dan dengan wanita, yang
meskipun janda dan boleh kunikahi, tapi masih terhitung
saudara sepupu jauhku. Sampai menjelang subuh, mataku baru
benar-benar bisa terpejam, setelah sebelumnya penuh dengan
bayang-bayang, seperti apa kira-kira wanita yang akan
menjadi temanku tidur selama tiga hari di Denpasar nanti.

Hanya dua jam aku terlelap. Begitu bangun, aku langsung
mandi dan berangkat ke Bandara naik bis dari Blok M plaza.
Tak ada kesulitan saat meminta tiket pada petugas di
counter GARUDA, seperti yang di instruksikan Dea, karena
tiket tersebut sudah dibayar dan dititipkan oleh wanita
tersebut disana. Dan karena tiketnya kelas bisnis, aku
langsung masuk ke Business Lounge. Sambil menikmati kopi
dan snack yang tersedia gratis di ruang tunggu khusus
penumpang dengan tiket bisnis tersebut, mataku menyapu
sekeliling ruangan. Mencoba mencari sosok wanita yang akan
menjadi temanku tidur di Denpasar nanti. Di dekat pintu
masuk, tiga orang lelaki berusia tiga puluhan yang
berpakaian seperti eksekutive, dengan jas dan dasinya,
serta dua orang wanita muda, duduk sambil membicarakan
sesuatu. Sebuah laptop terlihat menyala diatas meja
ditengah mereka. Sepasang suami istri berkulit putih khas
turis dari Eropa berada tak jauh dari mereka. Seorang
wanita dan seorang anak laki-laki berusia lima tahun baru
saja masuk. Di pojok selatan, dua orang wanita muda dengan
pakaian casual, duduk menikmati makanannya. Hanya itu
penumpang yang ada diruangan ini. Jadi yang mana wanita
yang telah membelikanku tiket bisnis Jakarta –
Denpasar - Jakarta ini ?. Kemungkinan terbesar – jika
memang dia sudah lebih dulu datang seperti yang di katakan
Dea – adalah salah satu dari kedua wanita dipojok selatan
tersebut. Tapi kenapa berdua ?. Dea bilang kan seorang
wanita. Kalau memang benar kedua wanita ini yang akan jadi
teman tidurku, berarti PERTARUHAN ini menjadi semakin
berkembang seru. Berarti aku harus tidur bareng dua wanita
yang, jangan-jangan maniak sex. Atau mereka lesbi AC-DC,
yang juga mau berhubungan dengan pria. Dan aku akan
menjadi keroyokan mereka, seperti yang pernah kulihat di
film biru. Entahlah, aku tak perduli. Yang penting Honda
ACCORD tahun terakhir mesti menjadi milikku. Tiba-tiba aku
teringat Dea. Kuhubungi selularnya, dan nyambung.
" Hai Rud, udah di Bandara ya ? ", tanya Dea langsung
" He eh, yang mana wanita yang kamu maksud, apa dia belum
datang ? "
" Mana gua tau. Mungkin ada disitu, mungkin juga belum
datang "
" Tapi aku sudah dapat tiketnya "
" Dia bilang kan akan menjumpai kamu begitu pesawat
mendarat "
" Iya sih…tapi aku penasaran, kamu dimana Dea ? "
" Di rumah, udah ya…. Selamat berjuang…". Dea memutus
telepon. Padahal aku masih ingin bertanya. Tak lama,
penumpang dipersilahkan naik kepesawat.
Di Ngurah Rai, tak ada wanita yang menjumpaiku. Yang ada
seorang bapak dengan selembar karton bertuliskan namaku di
pintu keluar.
" Pak Rudi ya….? ", tanya bapak tersebut saat kudatangi.
" Benar, bapak siapa ?"
" Saya supir yang diminta menjemput bapak ", ujar pak
Suryono, demikian nama lelaki berusia sekitar limapuluhan
tersebut. Dengan sopan dia meminta travel bagku, serta
mengajak kemobil yang diparkir tak jauh dari pintu keluar.
Dijalan, kutanya tujuan kami.
" Kita ke Bali Intercontinental Hotel ", jawab pak Suryono
singkat.


( Bersambung )
------------------------------------------------------------------------------------------------------------

"Sekarang Gratis Nelpon SLJJ Flexi diperluas ke Yogja"

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ikuti Lomba Puisi Berhadiah di http://plasaromantis.blog.plasa.com. Menangkan hadiah berupa Ipod, HP Flexi, dll. Kirim Puisi-mu ke plasaromantis@plasa.com

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar